Oleh: Suryadi
Tidak bisa terbantahkan lagi, kerangka Pendidikan Nasional kita hendak dibawa pada taraf Pendidikan berkelas dunia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa gerak-gerik Lembaga Pendidikan. Misalnya pada Pendidikan tinggi, beberapa universitas yang ngotot menjadi World Class University alias Universitas Kelas Dunia. Pada tingkat Lembaga Pendidikan dasar dan menengah, sekolah-sekolah juga mengubah wajah menjadi sekolah plus, sekolah internasional dan sekolah modern. Alih-alih, ingin menaikan grade dan mengundang peserta didik untuk datang belajar, Lembaga-lembaga Pendidikan itu hendak menyihir dengan menjual “Gemerlapnya kemajuan zaman”.
Tak khayal kemudian, Pendidikan bukan lagi tempat transformasi nilai dan ilmu pengetahuan, akan tetapi menjadi lokus awal kesenjangan sosial itu lahir. Sekolah berbandrol mahal dan sekolah murah salah satu prototipe dari kesenjangan sosial yang dimaksud. Orang tua yang terpikat karena labelling sekolah bermutu, berbondong-bondong mengirimkan anak mereka untuk belajar dan bersekolah. Ini semua juga karena prestige yang melahirkan kelas pada pranata sosial masyarakat. Sehingga, sekolah milik pemerintah di daerah kian hari tidak lagi diminati oleh para peserta didik dan orang tua. Belum lagi, sekolah yang digadang bermutu dan berkualitas itu mematok biaya yang cukup tinggi. Kemudian lahir asumsi bahwa yang dapat bersekolah di sekolah bermutu adalah mereka yang bergelimang harta dan berkecukupan. Akhirnya, sekolah menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang kuat untuk meneguhkan kembali sekolah-sekolah negeri utamanya sekolah dasar untuk terus menyuarakan dan memperbaiki mutu pendidikan dengan meningkatkan kompetensi guru, revitalisasi sekolah, dan penerapan pendidikan berbasis kearifan lokal sebagai ciri khas sekolah. Kearifan lokal dipandang sebagai sebuah warisan yang turun temurun dijalankan, dipercaya, dan dipraktikkan. Para ahli berpendapat bahwa kearifan lokal juga berarti pengetahuan yang bersumber pada nilai-nilai luhur adat dan budaya.
Jika Pendidikan di Indonesia hendak meng-copy paste sistem pendidikan luar negeri yang dianggap berhasil, kita layak untuk bertanya, apakah kearifan lokal dan budaya kita tidak semenarik dan baik untuk diterapkan?. Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab lugas dengan praktik baik di Sekolah. Tulisan ini hendak memberikan kabar baik bahwa di Sekolah Dasar di tengah kampung adat telah dan terus menerapkan Pendidikan Multikultural serta pendidikan berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal pada tulisan ini mengulik pada falsafah masyarakat Lampung. Penulis meyakini masyarakat Lampung hari ini sedang mengalami masalah besar lainnya, yakni tentang rendahnya penggunaan Bahasa Lokal.
Sekolah, Peran Masyarakat Adat dan Pendidikan Multikultur
Sejarah Sekolah Dasar Negeri 3 di Desa Mataram Baru tidak lepas dari sejarah panjang berdirinya sekolah di tengah kampung Adat Buai Subing Mataram Baru. Menurut tetua kampung, SDN 03 Mataram Baru pada mulanya adalah Sekolah Rakyat. Di Indonesia, istilah sekolah rakyat lekat dengan pendidikan awal pasca kemerdekaan. Sekolah ini didirikan atas prakarsa tetua adat dan dukungan dari masyarakat. Hingga tulisan ini ditulis, SDN 3 Mataram Baru telah mencetak ribuan alumni. Lokasi sekolah yang berada di pusat Masyarakat Adat, menjadikan sekolah ini lekat dengan pendidikan berbasis kearifan lokal masyarakat Lampung.
SDN 3 Mataram Baru memiliki keunikan serta kekhasan yang tidak banyak dijumpai pada jenjang sekolah dasar lain di Kabupaten Lampung Timur. Para siswa yang mengenyam pendidikan pendidikan adalah anak suku asli Lampung, sementara mayoritas para pengajar adalah suku Jawa. Keadaan ini yang membuat transformasi ilmu pengetahuan bukan semata-mata pada konteks akademik semata, akan tetapi penghargaan pada perbedaan budaya atau multikultural. Meski, berbeda suku suasana pembelajaran berjalan normal tanpa terjadi gap yang memisahkan baik guru maupun siswa dalam proses pembelajaran.
Pendidikan Kearifan Lokal dan Pemertahanan Bahasa
Kearifan atau wisdom dapat diterjemahkan sebagai suatu pemahaman kolektif, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang mempengaruhi keputusan penyelesaian atau penanggulangan suatu masalah kehidupan. Kearifan dalam hal ini merupakan perwujudan seperangkat pemahaman dan pengetahuan yang mengalami proses perkembangan oleh suatu kelompok masyarakat setempat atau komunitas yang terhimpun dari proses dan pengalaman panjang dalam berinteraksi dalam satu sistem dan dalam satu ikatan hubungan yang saling menguntungkan. Masyarakat Lampung memiliki falsafah atau pedoman hidup yang disebut dengan Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri merupakan suatu falsafah hidup suku Lampung yang menegaskan bahwa mereka memiliki harga diri yang harus dipertahankan. Falsafah ini tertuang dalam Kitab Kuntara Raja Niti yang merupakan kitab pedoman kehidupan adat masyarakat suku Lampung.
Piil Pesenggiri memiliki makna bahwa demi harga diri, maka suku Lampung pantang menyerah dan tidak mau kalah dalam sikap, tindakan, dan perilaku. Prinsip ini tentu saja dilandasi dengan konsep ‘berani karena benar dan takut karena salah’. Piil Pesenggiri sebagai sistem nilai dan pandangan hidup tertinggi dalam kebudayaan Lampung. Piil Pesenggiri pada hakikatnya menuntun masyarakat Lampung untuk mempunyai kebijaksanaan dalam berpikir dan bertindak. Piil Pesenggiri sendiri terdiri dari empat pilar yang saling menopang, yaitu Juluk-Adek, Nemui Nyimah, Nengah Nyappur, dan Sakai Sambayan.
Nilai Moral Piil Pesenggiri (Dokumentasi Sekolah)
Dalam aktivitas belajar dan mengajar, para pengajar menyisipkan nilai-nilai luhur falsafah Piil Pesenggiri pada tiap mata pelajaran, serta menuliskan nilai-nilai itu dengan menggunakan aksara Lampung yang kemudian diletakan pada tiap sudut sekolah. Upaya ini dilakukan untuk menanamkan nilai moral tersebut, agar peserta didik membaca, mengingat dan mengamalkan. Penggunaan aksara Lampung sebagai medium penulisan sebagai aktivitas pemertahanan Bahasa Lampung sebagai Bahasa Daerah.
Para pengajar SDN 3 Mataram Baru melihat kegelisahan fenomena akan merosotnya pride (kebanggan) menggunakan Bahasa Lampung pada generasi muda, utamanya para siswa di sekolah. Gerakan cinta Bahasa Lampung diejawantahkan dalam beberapa kegiatan, misalnya dengan “Sehari Berbahasa Lampung”, melalui proses pembelajaran dalam satu hari penuh, baik guru dan para siswa menggunakan Bahasa Lampung. Selain itu, papan nama kelas, ruang guru, perpustakaan, mushola bahkan protokol kesehatan menggunakan aksara Lampung. Gagasan ini merupakan upaya nyata untuk terus melestarikan Bahasa Lampung sebagai produk budaya yang orisinal dan khas masyarakat Lampung. Selain itu, upaya ini sebagai aksi nyata pasca pembelajaran Bahasa Daerah sebagai muatan lokal pada kurikulum sekolah dasar