baner majalah

puspita tnew

Tekad Berbuah Nikmat

tekadberbuahnmat.png

Tamat SMP, Itulah impian sederhanaku sebagai anak seorang petani yang kehidupan sehari-hari kami bisa dibilang kurang dari kata cukup. “Pokoknya saya harus bisa sekolah SMP,” kataku kepada Ayah pada saat aku tamat SD. “Howallah, Leee,,,, mau sekolah SMP itu pakai biaya dari mana?” itu yang aku ingat jawaban Ayahku pada saat itu.

Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Yang pertama laki-laki dan tidak sekolah, yang kedua perempuan juga hanya tamat SD, nha,,, aku yang ke tiga yang punya cita-cita ingin sekolah. Aku tidak mau seperti saudara-saudaraku yang hanya mengerti ke sawah, nyangkul dan nyangkul.

Hari demi hari kulalui dengan penuh pahit dan getir. Setiap pagi kukayuh sepeda untuk bisa mencapai sekolahku yang berjarak kurang lebih 15 km itu. Pulang sekolah pekerjaan sudah menanti, yaitu membantu Ayah bekerja di sawah. Semua itu kulalui setiap hari, dan tiga tahun sudah berjalan dengan rutinitas yang hampir tak pernah berubah.

Saat yang aku tunggu-tunggu pun tibalah sudah. PENGUMUMAN! Ya… pengumuman Kelulusan SMP. Hatiku dan teman-teman deg-degan… berdebar-debar… panas dingin rasanya menanti pengumuman kelulusan yang akan disampaikan hari itu. Tak sabar rasanya menanti saat yang tinggal beberapa jam lagi itu, bahkan makin mendekat dan tinggallah beberapa menit lagi, karena terdengar suara bel tanda berkumpul telah berbunyi. Suasana menjadi sunyi, semua mendengarkan pengarahan tentang pengumuman kelulusan dengan penuh hikmat. Salah seorang guru keluar membawa segepok amplop, haduuuhhh,,, tambah berdebar rasanya hati ini menyaksikan amplop itu. Hmmm,,,, lulus,,, tidak,,, lulus,,, tidak,,, hatiku dag-dig-dug tak karuan, menebak-nebak apa kira-kira isi yang bakal aku dapatkan. Akhirnya, tibalah saat pembagian “AMPLOP KERAMAT,” ya,, keramat, karena di dalam amplop itulah segala apa yang menjadi harapan dan cita-citaku bakal terwujud atau tidak?  Satu per satu kami pun dipanggil, aku menunggu giliran lumayan lama, karena namaku berawal dengan huruf  S. O, ya,,, namaku tepatnya adalah Santo. Aku tengok sana tengok sini melihat reaksi teman-temanku yang sudah menerima amplop, tapi kami sudah sepakat untuk membuka amplop tersebut secara bersama-sama pada saat kami sudah menerima semuanya. Jadi aku tidak takut ketinggalan dan merasa sendiri untuk merasakan hasil dalam amplop itu nanti. “Santo,,!!” aku terkejut, dada berdebar hebat, dan aku berlari menghampiri guru yang menyerahkan amplop. Dengan tangan gemetar aku terima amplop itu, aku bawa ke belakang ke barisan teman-teman untuk nanti kami buka bersama-sama. Panggilan demi panggilan,,, dan akhirnya sampailah pada panggilan terakhir.

Hmmm,,,, betul-betul panas dingin, gemetar, deg-degan, dan entah apa lagi yang kami rasakan, kamipun kompak membuka amplop secara bersama-sama. “Alhamdulillahhhhh,,,,,,, Horeeeeeeeeee,,,,,,,,,!!! Horeeeeeeee,,,,!!! Horeeeeeeeee,,,,,!!!!!!” itulah teriakan kami, karena mendapati hasil yang ada di dalam amplop dinyatakan “LULUS.” Sejenak kami berhenti, untuk saling pandang di antara kami, adakah yang berekspresi berbeda dengan kami? Alhamdulillah,,,, ternyata semua menunjukkan ekspresi kegembiraan yang sama, dan kami pun kembali melompat-lompat dan menari-nari sambil saling berpelukan meluapkan kegembiraan yang tiada terkira. Karena ternyata,,, kami lulus 100% ya,,, 100% betul-betul hasil yang membanggakan, membanggakan kami, orang tua, guru dan terutama sekolah kami.

Aku pulang membawa “amplop wasiat” dan sudah tak sabar rasanya untuk segera mempersembahkan kepada orang tuaku yang telah dengan jerih payah membiayai sekolahku sampai aku berhasil. Aku mencari Ayah dan Ibuku ke sana ke mari, tapi di mana beliau? “Hmmm,,, pasti ayahku masih di sawah dan Ibuku masih berjualan ikan keliling nih,,,” pikirku. “Okelah,, aku tunggu sebentar sambil makan, nanti kalau belum pulang biarlah aku menyusul Ayah ke sawah,” kataku dalam hati sambil mengambil makan tanpa berganti pakaian, karena selain sudah terlalu lapar aku sudah sangat tak sabar ingin mengabarkan semua ini pada Ayahku.

Begitu aku selesai makan, Ibu datang dan yang seperti sudah kompakan langsung disusul oleh Ayah di belakangnya. Hmmm... langsung komplit. Aku segera menghampiri keduanya, cium tangan mereka, kemudian pergi ke kamar mengambil “amplop wasiat-ku” Segera aku tunjukkan amplop itu kepada kedua orang tuaku. “Alhamdulillah,,,, kamu lulus, Le,,,!!” hanya itu yang keluar dari mulut kedua orang tuaku. Sebenarnya ada sedikit rasa kecewa di dalam hati ini, tapi, ”biarlah dulu, mungkin karena mereka masih capek,” pikirku menghibur diri.

Berbeda dengan teman-temanku, mereka mengadakan acara makan-makan untuk merayakan kelulusan. Dan aku selalu mendapat undangan secara bergiliran. Di setiap acara makan-makan, pasti kami selalu bercanda dan tak lupa merencanakan tindak lanjut dari kelulusan kami. Ada yang mau melanjutkan ke SMK, ada yang mau melanjutkan ke SMA Kosgoro, ada yang mau ke SMAN Way Jepara (waktu itu belum ada SMAN Sribhawono), dan ada juga yang ingin melanjutkan ke luar daerah. Mereka terlihat bahagia saat bercerita tentang rencana-rencana yang sudah tersusun rapi dan kayaknya bakal segera terlaksana. Giliran mereka menanyakan rencanaku, aku bingung untuk mengatakan apa, sedangkan tanggapan orang tuaku tentang kelulusanku saja seperti itu. “Enggak lho San, kamu selalu diam saja jika kita lagi ngebahas soal tindak lanjut tentang kelulusan kita. Sebenarnya kamu mau sekolah apa dan di mana?” Yadi, temanku yang paling dekat denganku meminta penjelasan tentang kediamanku. “Entahlah Yad, aku juga bingung, Ayahku kayaknya nggak begitu semangat menyambut kelulusanku, jadi aku nggak tahu, apakah aku sekolah apa enggak,” jawabku. “Sabar, San... kamu kan belum ngomong tentang ini pada orang tuamu, to?” tanya Yadi lagi. “Belum sih Yad, tapi sambutannya itu lho, bikin hatiku mengkerut, dan yang pasti pesimis lah,” aku meyakinkan Yadi. “Jangan pesimis dulu, nanti kamu coba temui orang tuamu, ngomong baik-baik kalau kamu mau melanjutkan sekolah ke mana, gitu” tambah Yadi memberiku semangat. “Iya, Yad, nanti aku coba ngomong sama Ayah” jawabku kurang begitu semangat.

Malam harinya, aku menemui Ayah dan Ibuku yang lagi ngobrol  di ruang tamu. Aku ikut nimbrung saja. Suasana jadi sedikit hening, aku memberanikan diri bersuara memecah keheningan. “Pak, Bu, saya kan sudah lulus SMP. Saya ingin melanjutkan ke SMA kayak temen-temen. Yah, Bu, bagaimana?” dengan sedikit terbata-bata akhirnya keluar juga kalimatku bagaikan mitraliur. “Howallah, Leee,,,, mau sekolah SMA itu pake biaya dari mana? Kalau dulu SMP, oke,,,, ternyata Ayah sanggup sampai kamu tamat, tapi, kalau SMA,,, Ayah mana kuat, Le,,, mana sanggup,,,???” jawab Ayahku yang semakin mengecilkan hatiku untuk terus maju melangkah. Jawaban Ayahku, rasanya selalu terngiang-ngiang di telingaku sehingga membuat aku susah tidur, meskipun akhirnya akupun tertidur karena kelelahan.

Hari ini giliran undangan ke tempat Tya. Aku berangkat dengan kurang bersemangat. Tapi begitu teringat nanti bakal ketemu sama teman-teman, bercanda dan merencanakan mau melanjutkan sekolah di mana, tiba-tiba semangatku muncul lagi. “Hmm,,, biarlah Ayah bicara seperti itu, siapa tahu besok ada perubahan,” pikirku, sedikit menghibur hati. Sampai di rumah Tya, sudah banyak teman-teman yang datang dan tak lama kemudian acarapun segera dimulai. Seperti biasa kamipun bercanda, dan lagi-lagi sampai pada rencana melanjutkan sekolah yang masih pada belum mantap. Begitu tiba giliran mereka menanyakan kepadaku, lagi-lagi aku hanya bisa tertunduk diam. Aku sama sekali tidak bisa menjawab. Aku betul-betul menangis dalam hati, padahal aku betul-betul piiinggiiinnn sekolah SMA. Tiba-tiba, Alit yang dari kemarin belum pernah ikut kumpul-kumpul nyeletuk, “emang ada apa to kamu, San? Kok temennya pada ceria gini, kamu malah manyun, mbok yang semangat!!” Akupun langsung menjawab, “gemana bisa ceria? Temen-temen sih pada mau lanjut semua, sedangkan aku,,??”  “Sabar, San,,, emang ada apa to dengan kamu? Emang kenapa kamu nggak lanjut?” tanya Alit, yang kelihatannya memang betul-betul belum tahu tentang permasalahanku yang nggak direspon oleh Ayah untuk melanjutkan sekolah. “Aku,,, paling nggak sekolah, Lit,,,” jawabku nglokro (Bhs Jawa = kurang semangat).  “Lho, emangnya kenapa?” tanya Alit lagi. “Itulah, Lit,,,, kayaknya Ayahku keberatan untuk membiayaiku masuk SMA, bagaimana mau SMA? Dulu waktu SMP saja hampir nggak dibolehin,” jawabku tanpa tedeng aling-aling alias blak-blakan. “Oooo,,,,, itu to masalahnya,,??” kata Alit. “Ya, gitu deh,,,” kataku lagi. “Eh,, San,,, kita coba cari jalan keluar, bagaimana?” kata Alit membuat aku jadi penasaran. “Jalan keluar apa?” jawabku lagi. “Kamu ingat guru kita Pak Waryo?” tanya Alit. “Ya, inget lah Lit,,, masa baru lulus saja dah lupa sama guru, lagian siapa juga yang bisa lupa sama guru kayak Beliau” jawabku makin penasaran. “Nhaaa,,,, Beliau itu, biasanya suka membiayai anak-anak yang ada minat melanjutkan sekolah, tapi orang tuanya tidak mampu atau bahasa kerennya Anak Asuh gitulah,,,,” papar si Alit. “O, ya,,,??? Terus,,, terus,,,,????” tanyaku tak sabar. “Kita coba saja temui Beliau, siapa tahu kamu bernasib mujur,” kata Alit lagi. Aku diam saja, menunduk, antara iya,, tidak,, mau,, malu,,, haduuhh,,, rasa ini ramai rasanya berkecamuk dalam dada. Alitpun menambahkan lagi, “Iya, San,,,, aku pernah dengar dari anak SMK Praja Utama, karena di sana ada dua anak asuhnya, ya,,, dipikir-pikir dululah San, nggak perlu dijawab sekarang.”

Kata-kata Alit begitu membayang-bayangi seluruh perasaanku. Aku bimbang, bisakah,,,??? Tapi,,, “akan kucoba,,!!” tekadku.

Aku kembali menemui Ayahku untuk menceritakan cerita Si Alit tadi siang. Setelah aku jelaskan panjang lebar seperti cerita si Alit, aku lihat wajah ayahku begitu berbinar-binar, seperti ada cahaya terang yang memberikan semangat pada kehidupan tuanya. “Benarkah,,??” tanya Ayahku tanpa aku duga sama sekali. “Ya, nanti aku coba dulu Ayah, siapa tahu nasib baik berpihak padaku,”  jawabku. “Semoga ya, Nak,,, Ayah hanya ikut mendoakan, semoga ada Dewa Penolong untuk kamu yang punya semangat untuk sekolah yang tinggi, sedangkan Ayahmu hanya seperti ini,” kata Ayahku. “Baiklah, Yah,,, besok saya cari waktu yang tepat untuk menemui Pak Waryo, lagian istrinya juga sudah kenal kok,” kataku. “Lho,, kok bisa,,??” tanya Ayah heran. “He,,,he,,, Ayah,,, ayah,,,, ya bisa laaahh,,,, kan masih guruku juga,,,,” jelasku lagi. “Owallah,,, Leee,,,, senengane kok ngerjani wong tuwo, mbok bilang dari tadi,,, Ayah kan nggak kebingungan kayak gini,,, ya sudah, gek tidur sana,,, sudah malem,” kata ayah. Akupun segera masuk kamar dan dengan sedikit perasaan lega mulai bisa segera tidur.

Hari yang kunanti-nantipun tiba. Aku bertamu ke rumah Pak Waryo, yang kebetulan disambut dengan ramah oleh Bapak lengkap dengan Ibu. Aku agak sedikit deg-degan, bagaimana tidak,,?? Aku sedikit takut dengan Ibu, soalnya kalau mengajar di sekolah Ibu terkenal “maaf” galak, meskipun kalau di luar kelas senang melucu dan bergurau. Tapi semua itu aku tahan dalam hati, demi tekat di dada yang begitu bergemuruh tak karuan. Rupanya Bapak tahu aku agak kikuk, sehingga beliau memulai ngobrol dengan tanya tentang rumahmu di mana, siapa nama orang tuamu, “Waaahhhh,,,, berarti dekat dengan rumah Mas  Riwan, teman sekolah Bapak dulu?” kata Bapak senang, karena ternyata rumahku dekat dengan rumah kenalan Bapak waktu sekolah SMP. Setelah ngobrol panjang lebar, akupun memberanikan diri menyampaikan tujuan utamaku datang mengunjungi Bapak dan Ibu. “Begini, Pak, Bu,,, saya kan pingin sekolah SMAN di Jepara, tapi Ayah nggak sanggup membiayai, saya berharap Bapak dan Ibu bisa memberi bantuan untuk saya melanjutkan sekolah,” saya betul-betul nekat memberanikan diri. “Hwa,,,, ha,,,, ha,,, Bapak kira ada apa to San,,,???” jawab Bapak membuatku jadi makin penasaran. “Maksud Bapak,,?” tanyaku lagi. “Kamu itu, tidak usah sungkan-sungkan dengan Bapak dan Ibu,,, Kami kan orang tuamu juga. Untuk anak yang punya keinginan kuat seperti kamu, Bapak sangat mendukung, yang penting kamu betul-betul bertujuan belajar, lho ya,,, jangan sampai gagal di tengah jalan,” Bapak menjelaskan. Fffffuuueeeeehhhh,,,,,,, Hmmm,,,, menggembung rasanya dada ini, mendengar kata-kata Bapak tadi. “Jadi,,, Pak,,,,????” aku masih bengong serasa tak percaya. “Iyaaa,,,, kapan rencana mendaftar? Dan nanti mau berangkat dari mana? Kalau dari rumahmu, apa nggak terlalu jauh?” tanya Bapak semakin membuat aku Huuuuffftttt,,, betul-betul melambung setinggi langit. Aku coba cubit lenganku, “Sakit! Ternyata bukan mimpi, sungguh aku kira mimpi bahkan di atas mimpi” kataku dalam hati, sambil clingak-clinguk takut ketahuan Bapak atau Ibu kalau aku lagi serasa kejatuhan bulan. “Injih, Pak, Bu,,, bagaimana kalau saya berangkat dari sini saja, maksudnya dari rumah Bapak, biar sedikit-sedikit bisa bantu-bantu Bapak dan Ibu,” kataku menawarkan diri, soalnya aku betul-betul nggak enak harus menerima ini semua tanpa harus bisa melakukan apa-apa untuk Bapak dan Ibu. “Kalau memang itu mau kamu, Bapak dan Ibu ikut saja, jangan lupa pamit Ayah dan Ibumu di rumah ya,,“ kata Bapak.

Aku pulang dengan perasaan yang,,, sangat,,sangat bahagia,,, “terima kasih Tuhan,,,!!! Terima kasih Alit,,,!!!!”

Aku langsung menceritakan kabar “super gembira” ini pada Ayah dan Ibu yang kebetulan lagi ada di rumah. Mereka kelihatan sangat gembira mendengar dan menanggapi kabar yang aku sampaikan. Bahkan Ibuku langsung sibuk membeli tahu untuk oleh-oleh saat aku ke rumah Bapak besok. Ya, besok aku akan langsung ke rumah Bapak.

Saat mendaftar ke SMA pun sampailah. Dengan keyakinan yang ada di hati dan dengan membawa bekal doa dari orang-orang yang menyayangiku aku pun pergi mendaftarkan diri.

Di sana aku banyak bertemu teman-teman dari satu sekolah. “Waahhhh,,, serasa reuni,,,,” tapi, kita semua sedang berkompetisi, belum tahu nasib kami, nanti.

Tunggu punya tunggu, saat pengumuman pun tiba, dan betapa bahagianya dan nggak sia-sia harapan dan doaku, nomorku muncul,,,, aku sujud syukur memuji dan mengucap terima kasih pada tuhan atas anugrah yang sungguh maha besar bagi aku yang hampir tak bisa menggapainya.

Minggu-minggu awal berangkat dari rumah Bapak terasa enjoy dan santai saja. Tapi, lama-kelamaan terasa capek juga, ya. Aku memohon pada Bapak, “Bagaimana kalau saya berangkat dari rumah Mbakyu saya yang rumahnya di Jepara, Pak?” “Kalau itu membuat kamu lebih nyaman, Bapak dan Ibu sih ikut saja,” jawab Bapak dan Ibu hampir bersamaan. Akupun mulai berangkat dari rumah Mbak yang di Jepara, tapi justru repot ternyata, rumahnya masih agak jauh dari sekolah, tidak terjangkau kendaraan umum jadi aku memerlukan  kendaraan. Lagi-lagi aku menemui Bapak, “ternyata saya perlu kendaraan, Pak. Bagaimana kalau saya minta dibelikan sepeda, biar lebih lancar menuju sekolah?” aku betul-betul memberanikan diri. “O,,, boleh,,, mau yang seperti apa?” tanya Bapak. “Yang jengki, Pak,” jawabku. Esok paginya, aku berangkat dari rumah Bapak dengan mengendarai sepeda jengki warna biru, warna kesukaanku. Hm,,, lega rasanya, bisa naik sepeda yang aku memang inginkan dan betul-betul aku butuhkan.

Sebetulnya, Bapak memberi uang cukup untuk satu bulan. Tapi kadang-kadang belum sampai satu bulan aku sudah pulang ke rumah Bapak. “Kangen.” Kadang-kadang Bapak juga mengingatkanku untuk menjenguk Ayah dan Ibuku.

“Ternyata lebih santai naik sepeda dibandingkan naik mobil umum, karena kalau naik mobil umum menunggunya terlalu lama.” Kataku dalam hati pada saat perjalanan pulang ke rumah Bapak. Aku mengayuh sepedaku dengan pelan dan tak terlalu ngoyo, supaya tidak terlalu capek nanti sampai rumah. Desa demi desa telah aku lalui, hingga tak terasa sudah sampai di Curup. “Hmm,,, sudah dekat,” kataku dalam hati sambil terus mengayuh sepeda dengan santai. Aku terus kayuh sepedaku, kali ini agak berat, karena jalan agak menanjak. Tiba-tiba, “Berhentiiii,,!!!!!” teriak seseorang yang keluar dari pinggir jalan di sekitar pekuburan Mataram Baru. Reflek aku menengok ke arah suara tersebut. Rupanya ada seorang pemuda tanggung yang sedang mengacung-acungkan sebilah celurit ke arahku, dan berteriak meminta aku berhenti sambil berlari mengejarku. Aku berusaha menggenjot sepedaku lebih kencang lagi, tiba-tiba,,,, ”sreeeeetttt,,,,,,” lengan kanan, atas dan paha kanan tertoreh clurit itu. Aku semakin kencang menggenjot sepedaku. Rupanya pemuda tadi mulai agak kecapekan, dia semakin jauh sambil terus berteriak-teriak, “Berhentiii,,,,!!! Serahkan tasmuuuuu,,,!!!!!!”  Sangking takutnya, aku terus dan terus mengayuh sepedaku dengan napas yang sangat tidak beraturan.

“Bapaaaaakkkk,,,!!!! Ada apa dengan Santo, ini,,,,????” Ibu berlari menyambut kedatanganku sambil berteriak-teriak memanggil Bapak. Bapak Pun keluar sambil berteriak, “Ada apa,,??”

Aku masuk rumah, duduk, sementara Ibu ke belakang mengambilkanku minum. Setelah minum dan agak tenang napasku, aku pun menceritakan permasalahan yang menimpaku. Bapak dan Ibu Pun mengusulkan, “Mulai sekarang, kalau mau pulang nggak usah naik sepeda lagi, sepeda tinggal saja di Jepara dan kamu pulang naik mobil, ya,, ini demi keamananmu.” Aku hanya bisa menyetujui saja, aku sungguh nggak enak dengan kejadian ini, bagaimana tidak? Tas, baju, celana jelas rusak parah. Rupanya Ibu bisa membaca pikiranku, karena beliau berkata, “Pencoleng kok nggak mikir, ya, anak sekolah kan nggak punya duit, kok ya masih diincar. Ya sudah untung hanya pakaian yang rusak, yang penting selamat.” Sambil ngeloyor masuk ke belakang.

Aku sudah membayangkan, “bakal bolos nih hari ini, baju, tas dan celana kan rusak parah.”

Ternyata pagi-pagi tas, baju dan celana panjang sudah tersedia di depan kamar. Rupanya Bapak dan Ibu tadi malam keluar membeli tas dan mengambil pesanan baju dan celana yang memang sudah Ibu pesankan untuk dobelan atau cadangan kalau hujan dan sebagainya. Sekali lagi aku hanya bisa bersyukur pada tuhan atas semua ini.

Tiga tahun berlalu tanpa aral, Bapak dan Ibu tetap tak berubah seperti sedia kala. Akhirnya akupun lulus SMA meskipun tidak menjadi yang terbaik. Tapi aku sudah sangat bersyukur. Bapak, Ibu, Ayah dan Ibuku juga kelihatan gembira atas keberhasilanku ini.

Lulus SMA,,,,, Rasanya sudah bisalah menjadi pegangan bagiku untuk mencoba mencari pekerjaan di Bandar Lampung. Aku diterima di Perusahaan Instalasi Pipa Air Minum. Alhamdulillah. Aku menekuni pekerjaan yang baru aku dapatkan ini. Karena keuletan dan keseriusan menekuni bidang ini, aku dikirim ke Jakarta untuk menjadi pengawas bagian Instalasi pipa air minum. Rupanya pekerjaanku dinilai bagus. Terbukti aku begitu cepat dipromosikan menjadi pengawas.

Di Jakarta, aku bertemu dengan teman satu kampung yang bekerja di wartel. Rupanya wartel itu milik  Mbaknya. Kami pulang kampung bersama-sama. Setiap pulang kampung tak lupa aku selalu ke rumah Bapak meskipun hanya menjenguk saja, begitu juga waktu pulang kampung kali ini. Aku ke rumah Bapak bersama Mya, nama temanku yang pulang bersama dari Jakarta. Aku sudah menduga, pasti Ibu akan mengerjai kami,,, ternyata dugaanku tidak meleset. Sampai di rumah Ibu langsung tersenyum sambil menyindir, “Weehhh,,, dah mulai bawa gacoan, nih,,??”  “temen, Bu,,,” jawabku. “Temen apa temeeennn,,,???” tanya Ibu penuh ledekan. Bahkan Bapak juga tak mau kalah mengerjai Mya, karena ternyata dia dulu murid Bapak di SMK Praja Utama. Lama kelamaan kami semakin sering pulang kampung dan pasti mampir ke rumah Bapak. Dan Bapak dan Ibu pasti selalu ngeledek kami. Akhirnya kami berkunjung ke rumah Bapak, karena kami ingin minta doa restu. Ya,, kami ingin menikah, dengan ditunggu oleh Bapak dan Ibu juga tentunya.

Setelah menikah pun kami tetap bekerja di Jakarta, sampai akhirnya kami harus pulang karena istriku mengandung. Istriku ingin melahirkan di desa, dekat dengan Ibunya. Anak pertamaku pun lahirlah sudah, perempuan, cantik dan aku beri nama Ami. Aku kembali bekerja di Jakarta. Prestasiku semakin meningkat, aku dikirim ke luar negeri, sehingga aku jarang bertemu dengan istri dan buah hatiku. Semakin besar putriku, semakin sulit untuk aku tinggal pergi, dia selalu merajuk tak mau ditinggal. Dan aku memutuskan untuk sementara di rumah saja dulu. Waktu-waktu yang ada aku isi dengan mengolah sawah, ladang, dan berbagai bisnis kecil-kecilan yang membuat aku selalu sibuk dan yang pasti juga mendatangkan hasil. Alhamdulillah,,, selesai membangun rumah, kami juga memiliki dua sepeda motor, kami juga mampu membeli dan juga menggadai sawah untuk garapan, juga membeli kebun yang kami tanami kelapa sawit.

Pada saat putriku kelas 3 SD, lahirlah anak keduaku, laki-laki, aku beri nama Juna, lengkapnya Arjuna karena dialah Arjunaku. Lengkap sudah kebahagiaan kami.

Aku tak pernah lupakan Bapak  dan Ibu yang tetap dengan setia selalu mendoakan bahkan menyayangi kami seperti putra-putrinya sendiri. Bahkan Bapak dan Ibu sudah anggap anak-anakku seperti cucu-cucunya sendiri, karena kebetulan Bapak dan Ibu belum punya cucu, jadi anak-anakku lah yang mendapatkan kasih sayang kakek dan nenek.

Terima kasihku untuk Bapak dan Ibu.

© PGRI Kabupaten Lampung Timur Powered By Mr.Zen

Pusat Inspirasi Anggota by Puspita-t