oleh Muhammad Munawar, S.Pd.I
Tenggorokanku terasa kering. Mungkin karena aku habis memarahi anak didikku panjang lebar. Kuteguk teh manis yang tersaji di mejaku. Semoga penat di hatiku segera hilang. Sayang, tehnya sudah tak lagi panas. Aku berharap bisa mengembalikan suasana hatiku di jam istirahat ini. Namun, belum juga aku menghabiskan air teh, Bu Ratna sudah mengusikku.
“Bu, sini sebentar!” pinta Bu Ratna di tengah-tengah kerumunan rekan guru.
“Nanti saja, Bu,” jawabku malas.
“Sini, to, Bu! Sebentar saja, kok!” paksa Bu Ratna seraya mengayunkan tangan berulang-ulang.
Dengan malas, kulangkahkan kaki menuju kerumunan itu demi menghargai panggilan Bu Ratna. Seperti biasa, Bu Ratna menunjukkan barang-barang dagangannya. Bu Ratna memang suka membawa barang dagangan di sela mengajarnya.
“Bu, ini bagus, lo. Sepertinya cocok dengan Bu Saras.” Ujar Bu Ratna seraya menempelkan gamis bersulam tapis ke badanku.
Aku terkesiap. Mengamati detail gamis itu. Cantik sekali, terbesit inginku untuk memilikinya. Apalagi sudah satu set dengan jilbabnya yang juga bersulam tapis. Terbayang sudah olehku bagaimana cantiknya diriku mengenakan gamis ini.
“Em … bagus, si. Tapi, harganya ….”
“Ah, sudah. Seperti dengan siapa saja, Bu. Ambil saja, bayar kalau sudah gajian.” Bu Ratna memberi keringanan. Mungkin karena dia melihat ekspresi ketertarikanku pada gamis itu.
***
Aku menerima amplop gajiku sebagai guru. Ini adalah amplop ke sekian kalinya selama tiga tahun aku mengajar di sekolah swasta. Rasanya aku malas membukanya. Aku sudah tahu berapa nominal uang yang ada di dalam amplop itu. Aku sangat kesal dengan profesiku. Capek-capek kuliah dan habis biaya yang tak sedikit, ternyata gelar sarjanaku dihargai sangat rendah.
Kubiarkan amplop gaji itu tergeletak di pangkuanku. Aku menangis sesenggukan.
“Dik, kenapa menangis?” tanya Mas Rangga mengagetkanku.
“Aku sedang kesal!” ketusku.
“Kesal pada siapa? Padaku? Apakah ada keinginan dan kebutuhanmu yang belum kupenuhi?”
Aku menarik napas tak sabar. “Ya, selama ini Mas memang selalu memberiku nafkah. Tapi ….”
“Tapi apa?”
“Tapi aku juga ingin jadi wanita karir yang berpenghasilan tinggi. Aku tidak harus bergantung padamu dengan mengandalkan gajimu.”
Aku melihat senyum kecut Mas Rangga. Sepertinya dia bosan mendengar keluhanku.
“Dik, kamu tu jangan berambisi berlebihan seperti itu. Meskipun penghasilanku juga belum besar, tapi aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Karena, kamu itu tanggung jawabku.”
“Tapi, Mas. Sampai kapan? Aku juga ingin ganti sepeda motor, merenovasi rumah, dan masih banyak lagi. Kalau mengandalkanmu saja, bagaimana itu bisa terwujud?”
“Istighfar, Dik. Sabarlah, bukannya jadi guru itu cita-citamu dulu? Bahkan aku memilihmu karena kamu seorang guru. Karena, seseorang yang berprofesi guru itu hatinya pasti penuh kasih dan penyabar. Tapi kenapa tiap kali menerima gaji, ekspresi wajahmu jadi menyeramkan seperti itu?”
“Mas, kalau setiap bulan aku hanya menerima uang segini, apa yang bisa kulakukan dengan uang segini, Mas?” kusodorkan amplop gajiku ke arah Mas Rangga. Aku jadi kesal dengannya. Mengapa dia tak memahami perasaanku dan malah menceramahiku seperti itu.
“Dapat rezeki bukannya disyukuri, kok malah menangis. Kalau kamu bersyukur, Allah pasti akan menambahnya. Tekuni saja profesimu, siapa tahu ke depan kamu bisa menerima upah yang layak.” Ucapnya lagi.
“Mas, uang dalam amplop ini saja tak cukup untuk membayar gamis yang kuambil dari Bu Ratna!”
“Astagfirullah, Dik! Kamu mengutang lagi? Aku tidak tahu jalan pikiranmu, Dik! Kalau kamu menginginkan gaji tinggi, kamu keluar saja dari sekolahmu dan cari pekerjaan di perusahaan-perusahaan besar!” seru Mas Rangga. Dia meninggalkanku yang sedang terisak begitu saja.
Lengkap sudah penderitaanku. Seperti inikah keadaan hidupku sekarang? Mas Rangga juga seakan tak mau memahami perasaanku. Dia malah seakan senang jika aku menjadi guru meski upahnya sangat rendah. Aku memang bercita-cita jadi guru, aku juga sangat menyukai dunia anak-anak. Dulu, kupikir menjadi guru itu hidupnya sejahtera. Sehingga aku memutuskan mengambil jurusan keguruan.
***
Aku memutuskan untuk berhenti jadi guru dan mulai mencari pekerjaan lain ke sana kemari. Ternyata, bukan hal mudah. Walau ijazah sarjana dalam genggaman, sulit sekali mencari kerja. Sampai akhirnya aku diterima di sebuah perusahaan, namun hanya jadi pegawai kontrak. Setelah itu tak diperpanjang lagi. Begitu terus. Delapan tahun sudah aku menjalani ini. Kondisi ekonomi keluargaku pun tetap pas-pasan saja.
Hingga suatu ketika, aku melihat rekan guruku dulu sedang membawa banyak barang belanjaan, dari pakaian, perabotan rumah tangga, dan lain sebagainya. Saat aku sengaja melewati rumahnya, ternyata rumahnya sudah jauh lebih bagus dari sebelumnya. Bahkan, dia juga sudah memiliki sepeda motor baru.
Aku mulai mencari tahu ke tetangga rekanku yang suaminya juga seorang guru. Kudapati informasi penyebab rekanku itu bisa membeli apa saja. Rupanya, dia baru saja menerima rapelan tunjangan sertifikasi guru selama setahun. Aku terkejut bukan kepalang mendengar nominal tunjangan tiap bulan yang diperolehnya. Katanya, per bulan mencapai dua juta delapan ratus ribu rupiah untuk guru honor berinpasing. Kalau dikalikan 12 bulan? Pantas saja, dia bisa belanja apa pun yang diinginkan.
Dadaku berdegup kencang. Napasku terasa sesak. Hatiku begitu resah. Tiba-tiba muncul rasa iri pada rekanku. Aku menelan ludah. Lalu bergegas pulang dan menceritakan semuanya pada Mas Rangga.
“Mas, aku akan resign dari perusahaan. Lagian sebentar lagi kontrakku juga habis.”
Mas Rangga tak menanggapiku sama sekali. Ekspresinya sangat datar. Dia hanya menghelakan napas agak dalam. Lalu menyandarkan punggungnya pada kursi tanpa menjawabku.
“Mas, kok diam saja, sih?”
“Kalau kamu resign, terus apa yang mau kamu lakukan, Dik?” tanyanya sembari memencet remote televisi.
“Aku akan menjadi guru lagi, Mas.”
Mas Rangga tersenyum sinis. Aku sangat tersinggung dengan sikapnya.
“Mas kok gitu, sih?!” protesku.
“Oh, pasti karena sekarang guru mulai sejahtera, kau mau jadi guru lagi? Kamu pikir kembali ke sekolah yang dulu itu mudah?” cercanya terdengar kesal.
“Mas kok nggak mendukungku, sih? Ya akan kucoba lagi, lah!”
“Dik, asal kamu tahu, ya. Dunia kerja itu membutuhkan keuletan, daya juang, profesionalitas, dan loyalitas. Nah, kamu belum menunjukkan karakter kinerja itu selama ini!” ucap Mas Rangga tegas.
Ah, terserah apa kata Mas Rangga. Tapi, kali ini aku akan bersungguh-sungguh menekuni profesi guru. Gumamku.
Kudatangi lagi sekolah tempatku mengajar dulu yang telah kutinggalkan delapan tahun lalu. Berkas lamaran kuajukan kepada kepala sekolah yang baru.
“Ibu, berkas lamaran ini saya terima. Namun, saat ini kebutuhan guru di sekolah ini sudah cukup. Jam mengajar para guru tidak dapat dikurangi lagi. Karena, mereka sudah bersertifikasi dan dituntut mengajar 24 jam tatap muka per minggu. Semoga Ibu bisa mengerti,” jelasnya.
Aku tertegun mendengar penjelasan kepala sekolah baru itu. Tak mungkin aku memohon-mohon agar bisa diterima. Para guru tentu tak akan merelakan jam mengajarnya. Kuucapkan terima kasih dan berpamitan.
Aku melangkah gontai keluar dari ruang kantor kepala sekolah. Kuamati bangunan dan fasilitas sekolah yang sudah jauh lebih bagus dibanding dulu saat aku masih mengajar di sini. Ada rasa sesal menjalari hatiku. Apa boleh buat, kini aku berada dalam dilema. Aku sudah tak lagi bekerja di perusahaan dan sekolah pun tak menerimaku. Sertifikasi oh sertifikasi, rasa-rasanya aku tak akan pernah merasakannya sampai kapan pun